Rabu, 11 Juni 2008

PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT

PEMBANGUNAN HUTAN RAKYAT BERBASIS NILAI LOKAL

(Kajian atas Pembangunan Hutan Rakyat di Desa Sumberejo

Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri)

I. PENDAHULUAN

Saat ini, lingkungan hidup merupakan menjadi salah satu isu terbesar di dunia, di samping isu demokratisasi, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Kepedulian masyarakat internasional terhadap isu lingkungan mengemuka pada saat Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Jainero pada tahun 1992, hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan global yang semakin memburuk serta semakin menurunnya keaneragaman hayati (Anonim hal 22. 1996). Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations for Climate Change Conference) yang diselenggarakan di Bali pada bulan Desember silam semakin menegaskan betapa pentingnya kepedulian global terhadap lingkungan, terkait dengan isu pemanasan global, meskipun hasil konferensi tersebut belum memuaskan seluruh pihak.

Indonesia pun tidak terlepas dari tekanan internasional untuk semakin peduli terhadap lingkungan terutama keberadaan hutan hujan tropis yang memang sangat diperlukan dalam kelangsungan hidup kehidupan manusia secara global. Hal ini mengingat bahwa proses deforestisasi (penghancuran hutan) di Indonesia sudah cukup parah, bahkan proporsi kawasan hutan terhadap luas daratan pada tahun 2004 di Indonesia menyusut drastis menjadi 63,04% jika dibandingkan dengan kondisi di tahun 1993 yaitu sebesar 67,7% dan tahun 2001 sebesar 64,2%. Penyusutan ini disebabkan antara lain oleh penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan pembangunan lain seperti untuk pertambangan dan pembangunan jalan, dan permukiman. Indonesia merupakan negara dengan luas hutan terbesar dibanding negara ASEAN lainnya. Namun, bersama Filipina, Indonesia memiliki laju deforestasi yang tertinggi. Laju deforestasi yang pada periode 1985-1997 sebesar 1,6 juta hektar per tahun meningkat menjadi 2,1 juta hektar per tahun pada periode 1997-2001 (Bappenas 2005 : 28). Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar dalam pengembangan hutan di Indonesia.

Salah satu dampak yang dirasakan adalah terjadinya tanah longsor dan banjir di beberapa tempat, mengambil salah satu kasus terjadinya tanah longsor di Karanganyar dan Wonogiri, banjir di sepanjang Sungai Bengawan Solo (mulai hulu sampai hilir).

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa upaya pembangunan kehutanan bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan meskipun kegiatan penghutanan kembali sudah dilaksanakan beberapa puluh tahun silam, namun hasil yang diperoleh belumlah memuaskan harapan semua pihak. Anggapan bahwa pembangunan kehutanan hanyalah program dari pemerintah sangatlah kuat sementara rasa kepedulian masyarakat terhadap program pembangunan kehutanan sangatlah kecil.

Perhatian terhadap struktur sosial dan budaya lokal yang ada di tengah masyarakat pada saat itu belumlah menjadi titik sentral dalam pembicaraan pembangunan kehutanan, justru yang terjadi adalah upaya introduksi metode dan teknologi baru yang dianggap mampu menjawab permasalahan kehutanan dengan menagabaikan sosio-kultural masyarakat. Dalam pembangunan kehutanan, metode dan teknologi baru yang diintrodusir dari luar merupakan sebuah kemestian, karena pada hakekatnya pembangunan adalah upaya terencana menuju kearah yang lebih baik, namun metode dan teknologi tersebut haruslah tetap disesuaikan dengan karakteristik sosio-kultural masyarakat.

Salah satu upaya pembangunan kehutanan yang dikembangkan adalah pengembangan hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan (Anonim, 1996 : 14). Menilik dari istilahnya, maka sebenarnya dapat diketahui bahwa orientasi pembangunan hutan rakyat adalah masyarakat setempat, artinya bagaimana memberdayakan masyarakat setempat dalam pembangunan hutan dengan sedikit fasilitasi dari pemerintah.

Desa Sumberejo Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri berada di sebelah tenggara Kabupaten Wonogiri, kondisi topografi yang sebagan besar wilayahnya terdiri dari lahan bergelombang sampai berbukit, dengan kemiringan > 40 %, solum tanah tipis yang menyebabkan tingkat kesuburan lahan rendah, serta lahan yang dipenuhi dengan batu gamping.

II. KERANGKA KONSEP

1. Pengembangan Masyarakat (Community Development)

Menurut Blackburn (1989) dalam Dwi Tiyanto et. el., (2006:90) pembangunan masyarakat (community development) menggambarkan makna yang penting dari dua konsep yaitu community bermakna kualitas hubungan sosial dan development bermakna perubahan ke arah kemajuan yang terencana dan bersifat gradual.

Pembangunan masyarakat menurut dirjen bangda merupakan proses dinamis yang berkelanjutan dari masyarakat untuk mewujudkan keinginan dan harapan hidup yang lebih sejahtera dengan strategi menghindari kemungkinan tersudutnya masyarakat desa sebnagai penanggung ekses dari pembangunan regional/daerah dan atau nasional (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003 : 21), sedangkan menurut PBB pembangunan masyarakat adalah suatu proses di mana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumberdya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakatr di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.

Menurut Conyers (1996) dalam Dwi Tiyanto et. el, (2006 : 94-95) pembangunan masyarakat dalam arti suatu proses, yakni semua usaha swadaya masyarakat digabungkan dengan usaha-usaha pemerintah guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan budaya serta menintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan untuk menintegrasikan masyarakat yang ada ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memberi kesempatan yang memungkinkan masyarakat tersebut membantu secara penuh pada kemajuan dan kemakmuran bangsa

Menurut Arthur Dunham dalam Dwi Tiyanto et. el (2006 : 94) unsur yang terkandung dalam community development adalah :

(1) Rencana program dengan fokus pada seluruh kebutuhan masyarakat pedesaan.

(2) Adanya bantuan teknis.

(3) Menggabungkan berbagai keahlian untuk membantu masyarakat

(4) Penekanan utama adalah pada membantu diri sendiri dan partisipasi oleh anggota masyarakat.

Hal yang menjadi salah satu landasan dalam konsepsi pembangunan masyarakat adalah kepemilikan tiga nilai inti dalam setiap komunitas, yaitu (1) kelestarian hidup; (2) harga diri; dan (3) kebebasan (Korten D.C, 1984:29)

Menurut Suparjan dan Hempri Suyatno (2003 : 25-26) ciri-ciri utama pembangunan masyarakat (1) sumber perencanaan pembangunan adalah prakarsa dan inisiatif masyarakat; (2) penyusunan program oleh masyarakat; (3) teknologinya merupakan teknologi tepat guna yang bersumber dari ide dan kratifitas masyarakat; (4) mekanisme kelembagaan bersifat bottom-up; (5) menekankan pada proses dan hasil; (6) evaluasi berorientasi pada dampak dan peningkatan kapasitas masyarajat ; dan (7) orientasinya adalkah terwujudnya kemandirian masyarakat.

Esensi yang terkandung dalam pembangunan masyarakat pada hakekatnya tidak sekedar membantu masyarakat dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, namun lebih dari itu pembanguann masyarakat merupakan usaha untuk membentuk kemandirian mereka, sehingga dapat mengatasi permasalahannya sendiri. Oleh karena itu, salah satu indikator keberhasilan pembangunan masyarakat adalah adanya peningkatan kapasitas masyarakat dan partisipasi masyarakat (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2006 : 22).

Kegiatan pembangunan masyarakat lebih didasarkan pada prakarsa lokal, sumber-sumber lokal, dan kepemimpinan lokal, hal ini berarti menaruh kepercayaan yang besar kemampuan lokal. Kepercayaan yang dinyatakan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih, dan kekuasaan untuk memutuskan. Kondisi inilah akan mampu menggerakkan potensi dalam diri masyarakat, sehingga masyarakat akan mampu membangunan dirinya sendiri secara mandiri dan berkelanjutan, sedangkan pihak luar hanya berperan sebagai stimulan dan fasilitator (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003 : 22-23).

2. Latar belakang pembangunan masyarakat

Alasan utama dilakukannya pembangunan masyarakat adalah adanya kegagalan pembangunan dengan model sentralistik, top down, dan berorientasi pertumbuhan ekonomi dalam hal pengentasan kemiskinan yang ada, selain itu juga menimbulkan kesejanjangan yang semakin lebar antara miskin dan kaya.

Pendekatan yang sentralistik pada akhirnya menafikan potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat, semua kegiatan cenderung dilakukan homogenitas, sehingga terjadi bias dan kegagalan dalam pelaksanaannya. Ketiadaan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, terutama proses perencanaannya akhirnya menimbulkan ketidakacuhan masyarakat terhadap program-program pembangunan, tidak ada rasa memiliki, dan ketidakberdayaan masyarakat, yang pada akhirnya akan mengakibatkan program yang digulirkan tidak dapat dilanjutkan (Dwi Tiyanto, 2006).

3. Prinsip-prinsip pembangunan masyarakat

Prinsip-prinsip pembangunan masyarakat akan menjadi ranah bagi implementasi pembangunan masyarakat, Hubungan dari prinsip-prinsip tersebut sangat diperlukan dalam upaya mewujudkan keberhasilan pembangunan masyarakat, Ife (2002 : 200-225) membagi prinsip-prinsip Community Development dalam tiga bagian penting, yaitu ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai berikut :

a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu :

1) Holistik, di mana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorien-tasikan pada lingkungan dengan memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan.

2) Keberlanjutan, dalam konteks ini pembangunan masyarakat ditujukan pada upaya meminimalkan ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan dan menggantikan dengan sumberdaya alam yang terbarukan.

3) Keanekaragaman, merupakan salah satu aspek penting prinsi ekologis, di mana di alam keanekaragaman akan menjaga siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan, tidak adanya jawaban tunggal terhadap permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring dan komunikasi yang setara, serta teknologi yang mudah untuk diterapkan pada tingkat yang rendah.

4) Pembangunan organis, pada dasarnya pembangunan organis menjadi konsep yang berlawanan dengan pembangunan yang sifatnya mekanis-tis. Dalam pembangunan masyarakat mengandung pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, tidak dianjurkan dengan teknik yang sifatnya sederhana, akan tetapi melalui proses yang kompleks dan dinamis.

5) Keseimbangan, di alam keseimbangan dinamis akan menjaga keseim-bangan alam secara keseluruhan, di mana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam sebuah sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan global dan lokal, keadilan gender, responsibilitas, dan keadilan dalam hukum

b. Prinsip keadilan sosial

6) Menghilangkan ketimpangsan struktural, pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya ketimpangan kelas maupun ketimpang-an gender dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat, untuk itulah harus dipahami betul tentang komplesitas tekanan ter-hadap kelas, gender, ras, dan harus kritis terhadap latar belakang kelas, gender, dan ras

7) Memusatkan Perhatian pada Wacana yang Merugikan (Addressing discourses of disadvantage) Wacana kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam community development. Worker perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga memarginalkan dan mentidakberdayakan sebagian orang yang lainnya. Penguraian wacana ini merupakan komponen kritis dalam prinsip meningkatkan kesadaran.

8) Pemberdayaan, konsep ini menjadi basis utama dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan mempunyai makna membangkitkan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan mereka untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung di dalamnya adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya.

9) Mendefiniskan kebutuhan, prinsip ini sangat penting dalam menentukan prioritas kebutuhan pembangunan masyarakat. Ada dua hal dalam penentuan kebutuhan, (1) pembangunan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2) memperhatikan preseden yang ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekologis.

10) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam hal ini perlu adanya aturan yang memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural komunitasnya, hak untuk berkembang secara mandiri, dan hak untuk mendapatkan perlindungan keluarga.

c. Menghargai Nilai-nilai lokal

11) Pengetahuan lokal, prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan lokal dalam pembangunan masyarakat, di mana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut.

12) Budaya lokal, globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia, bahwa budaya lokal dapat menunjukkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat, ini mengingat ternyata budaya lokal tidaklah statis namun dinamis, bahkan prinsip ini sesuai dengan hak asasi manusia, inklusif, berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.

13) Sumberdaya lokal, pemanfaat sumberdaya lokal lebih baik daripada menggunakan sumberdaya atau bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis, sumberdaya alam akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat (ada keanekaragaman bentuk pembangunan masyarakat).

14) Ketrampilan lokal, dalam pembangunan masyarakat, ”pihak luar” harus mengetahui ada ketrampilan lokal yang dapat dimanfaatkan, memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat, harus berjalan secara dua arah antara pihak luar dan masyarakat.

15) Menghargai Proses Lokal, pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar komunitas, jarang dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development, bahwa segala sesuatu tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu, pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya dalam komunitas, dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan masyarakat lokal, tradisi dan lingkungan.

d. Proses

16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam pembangunan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun pendapata ini ditentang oleh banyak pihak, karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. Dalam konteks ini, moral dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.

17) Keterpaduan proses, proses yang digunakan untuk mencapai tujuan harus disesuaikan dengn hasil yang diharapkan, perihal keberlanjutan dan keadilan sosial.

1 8) Peningkatan kesadaran, prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan pencarian potensi dalam kehidupan dan menghubungkan dengan struktur yang ada dan mendiskursus kekuatan dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan anggota masyarakat dan politik, membangunan hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam menghadapi tekanan, dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini merupakan bagian penting dalam pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat.

19) Partisipasi, pembangunan masyarakat harus selalu melihat partisipasi maksimal dengan tujuan setiap anggota masyarakat dapat secara aktif terlibat.

20) Kooperasi dan konsensus, problematika yang ada di masyarakat harus dihadapi oleh seluruh anggota secara bersama-sama dengan mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota masyarakat.

21) Tahapan pembanguan, pembangunan masyarakat dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu yang lama, hal ini disebabkan ia lebih mengutamakan keaktifan dan partisipasi anggota masyarakat.

22) Perdamaian dan anti kekerasan, pada konteks ini pembangunan masyarakat menghendaki sebuah proses pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat koersif ataupun pendekatan dengan tekanan terhadap sesama merupakan hal yang harus dihindari.

23) Inklusif, aplikasi prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat membutuhkan proses adanya keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pelaksanaan pembangunan. Proses pembangunan haruslah bersifat terbuka dan menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat, bahkan sampai kelompok paling bawah.

24) Membangun komunitas, semua pembangunan masyarakat seharusnya bertujuan untuk membangun komunitas. Pembangunan masyarakat meliputi semua interaksi sosial dengan komunitas dan membantu mereka untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi jalan untuk menuju dialog yang murni, pemahaman, dan aksi sosial.

e. Prinsip global dan lokal

25) Hubungan antara global dan lokal, saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi, sehingga tidak bisa lagi mengabaikan isu-isu global tentang pembangunan dan lingkungan hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada seluruh komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga, setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi.

26) Praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice), Penjajahan (kolonialisme) dapat mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu ideologi ekstrim yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan mempercayai bahwa community worker adalah seseorang yang mempunyai sesuatu untuk ditawarkan, dan dengan menghargai satu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah. Ini akan mengabadikan dominansi penjajah.

4. Aspek pembangunan masyarakat

Menurut Korten dalam Suparjan dan Hempri Suyatno (2003 : 23) konsep pembangunan masyarakat pada hakekatnya memiliki beberapa aspek penting, sebagai berikut

(1) keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dibuat di tingkat lokal.

(2) Focus utama adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan potensi daerah mereka sendiri.

(3) Memiliki toleransi terhadap perbedaan dan mengakui arti penting pilihan nilai individu dan pembuatan keputusan yang telah terdistribusi.

(4) Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan social dilakukan melalui proses belajar social dimana individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisasi dan dituntun oleh kesadaran kritis individu

(5) Budaya kelembagaan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur diri sendiri.

(6) Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku lokal dan unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri akan menjadi basis tindakan-tindakan lokal untuk memperkuat pengawasan lokal dan kemampuan lokal untuk mengelola sumberdaya lokal.

5. Partisipasi dan Manfaat Partisipasi dalam Pembangunan

Salah satu aspek penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang dilaksanakan, partisipasi masyarakat akan menjamin keberlangsunguan pembangunan yang ada. Sehubungan dengan partisipasi tersebut, Mardikanto (2007:110) mendefiniskan sebagai keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan.

Lebih lanjut Trupp Carbale dan Zasueta (Dwi Tiyanto dkk, 2006 : 116) menjelaskan manfaat pendekatan partisipasi dalam pepembangunan yang bersifat lokal, sebagai berikut :

a. mampu memfasilitasi pengembangan kegiatan dan teknologi yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

b. memungkinkan penduduk setempat untuk menyatakan pandangan- nya dan berdialog dengan pihak luar.

c. menggunakan dan menghargai / mengembangkan pengetahuan setempat.

d. memungkinkan keluwesan dan penyesuaian dengan kondisi, waktu, dan irama tertentu dari masyarakat.

e. memacu proses demokrasi dan kesetaraan dalam perencanaan dan pengambikan keputusan.

f. meningkatkan potensi mendapatkan komitmen masyarakat untuk melaksanakan kegiatan atau teknologi.

g. cenderung mendukung kegiatan pembangunan berkelanjutan.

h. memungkinkan perencana / peneliti untuk lebih memahami pengetahuan local dan pemanfaatannya.

i. mendukung keterlibatan kelompok marginal.

j. mengembangkan interaksi inter disiplin dan pandangan yang terpadu.

k. cenderung mendukung desentralisasi pengambilan keputusan.

l. dapat dilaksanakan dengan cepat dan efisien.

m. dapat memberdayakan penduduk setempat dalam integrasi dan kepercayaan diri, kesejahteraan dan kekuatan/kontribusi mereka dalam tindakan dan penentu keputusan.

Yadav (UNAPDI, 1980) dalam Mardikanto (2007 : 112-113) mengemukakan tentang adanya empat macam kegiatan yang menunjukkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan yaitu partisipasi dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi serta partisipasi dalam pemanfaatan hasil-hasil pembangunan

Bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa (Dusseldorp, 1981) dalam Mardikanto (2007 : 112) :

a. menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat;

b. melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok;

c. melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi untuk menggerakkan partisipasi masyarakat yang lain;

d. menggerakkan sumberdaya masyarakat;

e. mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan;

f. memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakatnya.

Kunci partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah adanya kesukarelaan anggota masyarakat untuk terlibat dan atau melibatkan diri dalam kegiatan pembangunan. Berkaitan dengan tingkat kesukarelaan masyarakat untuk berpartisipasi, Dusseldorp (1981) dalam Mardikanto (2007 : 114) membedakan adanya beberapa bentuk kesukarelaan sebagai berikut :

a. partisipasi spontan, yaitu peranserta yang tumbuh karena motivasi intrinsic berupa pemahaman, penghayatan dan keyakinannya sendiri;

b. partisipasi terinduksi, yaitu peranserta yang tumbuh karena terinduksi oleh adanya motivasi ekstrinsik (berupa bujukan, pengaruh, dorongan) dari luar, meskipun yang bersangkutan tetap memiliki kebebasan penuh untuk berpartisipasi;

c. partisipasi tertekan oleh kebiasaan, yaitu peranserta yang tumbuh karena adanya tekanan yang dirasakan sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya atau peranserta yang dilakukan untuk mematuhi kebiasaan, nilai-nilai atau norma yang dianut oleh masyarakat setempat. Jika tidak berperanserta, khawatir akan tersisih atau dikucilkan masyaraktnya;

d. partisipasi tertekan oleh alasan social-ekonomi, yaitu peran serta yang dilakukan karena akan kehilangan status sosial atau menderita kerugian/ tidak memperoleh bagian manfaat dari kegiatan yang dilaksanakan;

e. partisipasi tertekan oleh peraturan yaitu peran serta yang dilakukan karena takut menerima hukuman dari peraturan/ketentuan-ketentuan yang sudah diberlakukan.

6. Pembangunan Hutan Rakyat

a. Pengertian Hutan Rakyat sesuai dengan Surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts/II/1997 adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya yang lebih dari 50 % dan atau tanaman tahun pertama dengan minimal 500 tanaman perhektar, sedangkan batasan dari aspek penginderaan jauh sangat ditentukan oleh penutupan lahannya, yaitu sebagai hutan, semak belukar hingga tanah kosong yang dipandang perlu untuk dikembangkan sebagai hutan dan selanjutnya disebut sebagai areal potensial pengembangan hutan rakyat (Universitas Gadjah Mada dan Dinas LHKP Kabupaten Wonogiri, 2005 : II.5).

b. Nilai srategis hutan rakyat dalam kaitannya dengan konservasi lahan adalah (1) tajuk hutan tang baik dan lengkap akan mampu memecah energi kinetik hujan, sehingga erosi yang ditimbulkan menjadi lebih kecil, (2) menciptakan ekosistem berupa lantai hutan yang akan melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir air hujan, (3) bahan organik yang berasal dari seresah mampu menyerap air hingga 2-3 kali beratnya, (4) bahan organik dari hutan berperan sebagai semen, sehingga meningkatkan kemantapan agregat tanah, (5) membentuk suatu sistem perakaran yang intensif, sehingga respon kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah meningkat, dan (6) perakaran yang intensif akan mampu memperkecil aliran permukaan, baik kualitas maupun kuantitasnya (Universitas Gadjah Mada dan Dinas LHKP Kabupaten Wonogiri, 2005 : II.2).

c. Kelompok Tani Hutan Rakyat

Kelompok menurut Iver dan Page (1961) dalam Anonim (1996:431) adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, sehingga terdapat hubungan timbal balik dan saling pengaruh mempengaruhi serta memiliki kesadaran untuk salin tolong menolong. Salah satu ciri terpenting kelompok adalah memiliki kepentingan bersama dan tujuan bersama (Tomosa, 1978 dalam Anonim, 1996 : 431). Karena itu, kelompok dapat diartikan himpunan dua atau lebih individu yang memiliki ciri (1) memiliki ikatan yang nyata, (2) memiliki interaksi dan interrelasi sesama anggotanya, (3) memiliki struktur dan pembagian tugas yang nyata, (4) memiliki kaidah-kaidah atau norma tertentu yang disepakati bersama, dan (5) memiliki keinginan dan tujuan bersama (Anonim, 1996 : 432).

Sedangkan definisi kelompok tani (hutan) menurut Departemen Pertanian Republik Indonesai (1980) adalah kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiriatas petani dewasa maupun petani taruna yang terikat secara informal dala suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani (Anonim, 1996 : 434).

Keuntungan dibentuknya kelompok tani hutan menurut Torres (1977) dalam Anonim (1996 : 435) antara lain (1) semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok, (2) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerja sama antar petani hutan, dan (3) semakin cepatnya proses perembesan penerapan inovasi baru. Sedangkan alasan utama dibentuknya kelompok tani (hutan) menurut Sajogya (197 8) dalam Anonim (1996:436) adalah untuk memanfaatkan secara lebih baik semua sumberdaya yang tersedia

III. ANALISIS PERMASALAHAN DAN PEMECAHAN

1. Analisis Permasalahan yang Dihadapi

Dari berbagai catatan yang ada di kelompok, terdapat permasalahan yang behubungan dengan masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan yang menjadi titil tolak kegiatan pembangunan hutan rakyat di desa Sumberejo Kecamatan Batuwarno Kabupaten Wonogiri; beberapa permasalahan yang ada, yaitu :

a. Kondisi topografi desa sebagian besar berada di lahan dengan kemiringan di atas 40 %, hal ini menyebabkan lahan menjadi sangat rentan terhadap erosi, hal ini ditunjang oleh sifat tanah (asosiasi litosol mediteran) yang mudah sekali larut terkena air.

b. Lahan kritis dengan tutupan (cover crop) yang sangat minim, hal ini menyebabkan lahan semakin lebih potensial terjadi erosi.

c. Lahan pertanian sebagian besar berupa batu gamping dengan kedalaman tanah 20 cm, sehingga kurang menguntungkan untuk dilakukakan budidaya pertanian.

d. Rendahnya pendapatan petani/masyarakat yang disebabkan oleh berbagai kondisi yang menyebabkan terjadi laju deforestasi relatif tinggi, semakin memperluas lahan terbuka.

e. Rendahnya tingkat kesadaran dan partisipasi warga terhadap program penghijauan yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan warga.

Dari permasalahan tersebut, hal yang mungkin dapat diatasi adalah permasalahan (1) tingginya erosi yang ada, (2) tutupan lahan yang minim, (3) rendahnya pendapatan masyarakat, dan (4) rendahnya kesadaran dan partisipasi

Kondisi yang diinginkan dari kegiatan pembangunan hutan rakyat adalah :

a. Menurunnya laju erosi dengan cara membangun hutan rakyat desa dengan melibatkan seluruh warga desa

b. Meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai dampak dari turunnya laju erosi

c. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat.

2. Gambaran Singkat Kelompok Tani

Kelompok tani ini didirikan pada tahun 1985 sebagai kelanjutan dari upaya masyarakat dalam kegiatan penghijauan yang dimulai sejak tahun 1967-an oleh seorang kepala dusun (Bp. Maridi) dari lahannya sendiri dengan menanami pohon jati dan mahoni sebagai batas kepemilikan. Salah satu latar belakang kegiatan yang dilakukan oleh kepala dusun tersebut terjadinya banjir besar pada tahun 1966, namun kegiatan yang dilakukannya banyak menimbulkan pro dan kontra, sebagian menganggap bahwa menanam tanaman tahunan di lahan pertanian tidak menguntungkan, meskipun sebenarnya penanaman tanaman pertanianpun juga kurang menguntungkan.

Kegiatan berlanjut dengan diadakannya penghijauan desa dengan jenis tanaman eucalyptus dan kaliandra pada lahan seluas + 50 ha. Pada tahun 1972-an pemerintah melalui program penghijauan desa memberikan bantuan bibit tanaman akasia, namun kegiatan ini tidak berlanjut. Baru pada tahun 1985 dengan terbentuknya kelompok tani yang meliputi dusun Wates Wetan, Wates Kulon, Ngandong, dan Semawur, maka kegiatan penghijauan dapat dilaksanakan dengan lebih terarah, pembentukan ini merupakan embrio dari penataan pranata sosial dalam kaitannya dengan penghijauan selain itu juga untuk menindaklanjuti beberapa program pemerintah yang tidak bisa dilaksanakan secara individu (misalnya pemberian pinjaman saprodi yang harus melibatkan kelompok, pemberian bantuan tanaman penghijauan).

Tujuan pembentukan kelompok adalah untuk memudahkan masyarakat (anggota) dalam pengelolaan hutan rakyat dan lahan pertanian serta menetapkan aturan (norma) dalam pengelolaan hutan yang disepakati.

3. Catatan Keberhasilan Kelompok

Beberapa catatan kecil tentang keberhasilan kelompok dalam kegiatannya antara lain :

  1. Dinamisasi kelompok dengan melakukan pertemuan dan arisan secara rutin untuk membicarakan permasalahan yang ada, di mana keputusan kelompok diambil dalam sebuah pertemuan. Sesuai dengan kesepakatan kelompok, pertemuan kelompok merupakan forum tertinggi dalam pengambilan keputusan yang sifatnya makro dan strategis, sehingga adakalanya pertemuan kelompok dapat dilakukan tanpa harus menunggu jadual pertemuan rutin.
  2. Kegiatan penghijauan telah berhasil mempertahankan keberadaan sumber air yang menjadi tulang punggung dalam kehidupan maupun dalam pertanian, memulihkan kembali kesuburan lahan serta mengurangi resiko erosi lahan.
  3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat meningkat, salah satu indikator yang secara faktual adalah kondisi tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan pola kehidupan sehari-hari.
  4. Kayu yang dihasilkan dalam kegiatan penghijauan mampu menggerakkan sektor lainnya dengan berdirinya home industri mebel dan menjadi pemasok bahan bakar untuk tobong gamping, kelanjutan kegiatan ini merupakan upaya industrialiasasi lokal yang berbasis pada kemampuan masyarakat setempat.
  5. Diversifikasi kegiatan dengan penanaman rumput di bawah tegakan untuk pakan ternak serta menanam empon-empon, sebagai salah satu kegiatan berorientasi pasar.
  6. Pembuatan bendungan secara swadaya untuk keberlangsungan kegiatan pertanian merupakan salah satu bentuk kegiatan masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupan dan mensiasati kehidupan.

4. Analisis Keberhasilan Kelompok

Pembangunan masyarakat diarahkan untuk mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat sebagai upaya mempercepat peningkatan perkembangan masyarakat. Dalam pendekatan partisipaif, setiap pelaku ekonomi harus selalu diikutsertakan dalam proses pembangunan mulai perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sesuai dengan latar belakang , kemampuan, keahlian masing-masing yang dilandasi oleh rasa tanggung jawab dan tenggang rasa untuk kepentingan bersama.

Pemberian kepercayaan pemerintah kepada pelaku ekonomi lain untuk ikut serta dalam pembangunan akan sangat membantu meringankan beban dan tugas pemerintah, baik dana maupun alam pelaksanaan pembangunan.

Pendekatan pembangunan berbasis rakyat menjadi kebutuhan urgen dalam pelaksanaan pembangunan. Perspektif pembangunan yang perlu dikembangkan adalah masyarakat dibangun bukan karena mereka bodoh dan tidak mampu, tetapi masyarakat dibangun untuk mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki dan kearifan lokal dan teknolog menjadi basis perkembangnan masyarakat.

Beberapa hal yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan dan dinamisasi kelompok yang sempat terekam, antara lain :

a. Pembentukan kelompok dimaksudkan sebagai wadah untuk mempersatukan seluruh warga dalam satu tujuan bersama dengan menghilangkan semua sekat. Seluruh anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama, tidak ada perbedaan di antara mereka. Hal ini sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan oleh Ife J. (2002 : 205) bahwa pengembangan masyarakat harus mampu menghilangkan ketimpangsan struktural. Pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya ketimpangan kelas maupun ketimpangan gender dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat. Kelompok yang ada dibentuk semata-mata hanya berdasarkan pada hamparan atau kepemilikan yang berada lokasi yang sama.

Dalam konteks pembanguan hutan rakyat prinsip kesetaraan dan keadilan sosial menjadi mutlak, prinsip tersebut akan menjamin pengakuan yang sama pada seluruh komponen masyarakat, bahkan sampai pada kelompok bawah. Dengan adanya pengakuan tersebut, maka anggota akan merasa dihargai, sehingga partisipasi anggota adalah sukarela atas dasar keinginan untuk berubah menjadi lebih baik.

Selain itu juga pembentukan kelompok sebagai institusi yang menerapkan prinsip-prinsip organisasi ‘modern’ merupakan salah satu aspek dalam pengembangan masyarakat, menurut Korten, D.C (1984 : 52) bahwa budaya kelembagaan ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur diri sendiri.

b. Kelompok berhasil menjadi wahana dalam rangka mencapai tujuan pembangunan sosial. Dalam kelompok tersebut anggota masyarakat dapat melakukan proses belajar sosial dimana individu berinteraksi satu sama lain yang dituntun oleh kesadaran kritis individu (Korten dalam Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003 : 23). Kelompok hutan rakyat mampu melakukan proses pembelajaran dan pertukaran informasi dalam segala aspek (bukan hanya masalah hutan rakyat semata).

c. Partisipasi anggota yang tinggi, ini dapat dilihat pada kesertaan anggota dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, mulai dalam perencanaan sampai dengan evaluasi, bahkan anggota berhak untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pengurus, yang dilaksanakan dalam rapat ruitn anggota. FAO (1986) dalam Dwi Tiyanto et. el, 2006: 115) menyatakan bahwa partisipasi adalah (1) keterlibatan masyarakat dalam perubahan yang ditentukan sendiri, (2) proses aktif dalam mengambil inisiatif.

Salah satu tolok ukur keberhasilan pengembangan masyarakat adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan, dalam hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi yang diinginkan adalah partisipasi spontan yang muncul dari motivasi dalam diri anggota (Duselorp, 1981 dalam Mardikanto T, 2007 : 114).

Menurut Korten D.C. (1984 : 35) bahwasannya pembangunan masyarakat harus bisa merangkum nilai yang ada di dalam masyarakat, bahkan pada perbedaan nilai yang sangat jauh. Perangkuman nilai yang ada di kelompok dilakukan dalam bentuk pengambilan keputusan yang mengakomodir seluruh kepentingan anggota, meskipun pada akhirnya keputusan terakhir terkadang tidak bisa memuaskan seluruh anggota.

d. Pertemuan rutin kelompok sebagai institusi tertinggi dalam kelompok, salah satu perspektif proses dalam pengembangan masyarakat yang dikemukakan oleh Ife J, (2002 : 127-129) adalah adanya praktek demokrasi partisipatif. Pada pertemuan rutin anggota, seluruh anggota secara langsung terlibat dalam penentuan keputusan kelompok, selain itu juga dalam pertemuan tersebut, pengurus akan mempertanggungjawabkan kegiatan yang telah mereka laksanakan sesuai dengan amanat pertemuan (akuntabilitas).

Dalam konteks pembangunan masyarakat yang lebih luas, perspektif demokrasi partisipasi ini akan sangat menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pengembangan masyarakat.

e. Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertanian dan penebangan yang tidak terkontrol menjadi sebuah dorongan dan sumber motivasi untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, bahkan setelah kegiatan penghijauan berjalan dengan baik dilakukan diversifikasi kegiatan berupa industri rumah tangga dan ternak, namun bisa juga dikemukakan bahwa tindakan ini adalah sebuah langkah dalam mensiasti kehidupan untuk keberlangsungan untuk tetap hidup (lihat Hettne dalam Wacana VII/2000 : 79), dalam perspektif ekologis dalam pengembangan masyarakat menjadi penting, hal tersebut akan menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat (Ife J, 2002 : 202)

f. Adanya pranata atau aturan lokal yang berlaku dan diakui oleh semua anggota, beberapa aturan yang melingkupi kegiatan antara lain adanya penggantian pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit pohon sejenis sampai hidup. Pranata lokal tersebut merupakan salah hasil kesepakatan bersama oleh semua anggota kelompok (konsensus), hasil kesepakatan tersebut bersifat mengikat. Berdasarkan prinsip pengembangan masyarakat salah satu hal yang harus dipegang dalam pengembangan masyarakat adalah semua keputusan harus diambil secara kolektif oleh semua anggota (masyarakat), bahkan sampai dengan kelompok paling bawah (Ife J, 2002 : 220).

g. Prinsip yang dikemukakan Ife J, (2002 : 209), yaitu dua hal dalam penentuan kebutuhan, (1) pembangunan masyarakat dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2) memperhatikan preseden yang ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekologis, terpenuhi dalam konteks pembangunan hutan rakyat, keberhasilan pembangunan hutan rakyat di Desa Sumberejo mendasarkan pada kedua prinsip tersebut, adanya kebutuhan bersama untuk mengubahan kondisi lingkungan dan ekonomi, serta kebutuhan untuk menjaga keseimbangan ekologis dalam bentuk hutan rakyat.

h. Terdapatnya Creative Minority –sebagai penggerak kegiatan- yang terpercaya dan disegani, kegiatan penghijauan dimotori dan digerakkan oleh Kepala Dusun (Lurah) Wates, di mana kepala dusun pada masa-masa tersebut secara sosial memang menjadi rujukan masyarakat dalam semua aspek kehidupan apalagi bagi masyarakat yang berciri sosial paternalistik. Saat ini posisi strategis dipegang oleh Sutanto (anak Kadus Wates), di mana posisi tersebut menurut Dwi Tiyanto et. el, (2006 : 134) termasuk fasilitator, yaitu orang yang berasal dari komunitas setempat yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menfasilitasi proses pembangunan secara partisipatif.

i. Adanya kelembagaan lokal yang representatif yang direpresentasikan dalam bentuk Kelompok Tani Hutan Rakyat Gondangrejo. Pembentukan kelompok tani dijadikan wahana untuk menyatukan tujuan dan persepsi masyarakat dalam pembangunan hutan rakyat.

Meskipun pembentukan kelompok merupakan anjuran dari pemerintah, namun ternyata pengurus dan anggota mampu untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap pemerintah, hal ini ditandai dengan kebebasan masing-masing anggota untuk memilih jenis dan pola tanam yang ada di lahan mereka. Dalam model pembangunan yang memihak rakyat pengembangan struktur dan proses swakelola oleh masyarakat menjadi salah satu prasyarat dalam pembangunan, pengembangan struktur berbasis pada masyarakat akan memungkinkan masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri dan melakukan pembaruan secara kreatif (Korten D.C, 1984 : 32 dan 52) serta menentukan arah dan tujuan dalam pembangunannya, dengan penentuan keputusan oleh masyarakat itu sendiri, maka rasa kepedulian dan kepemilikan terhadap hasil kesepakatan juga akan lebih tinggi, hal inilah yang memungkinkan sebuah keputusan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan masyarakat dengan sukarela melaksanakan hasil keputusan tersebut.

j. Rendahnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap modal dan teknologi dari luar, serta kebebasan dalam menentukan pilihan (Hettne dalam Wacana. 2000 : 79, lihat juga Korten D.C., 1984 : 29), hal ini menyebabkan masyarakat mampu secara bebas dan mandiri melaksanakan pembangunan hutan rakyat sesuai dengan kondisi mereka, hal ini ditandai dengan kebebasan mereka untuk menetapkan pola hutan rakyat yang ada, misalnya : kerapatan tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lahan, jenis tanaman yang tidak terdapat keseragaman tetapi diserahkan kepada masing-masing pemilik lahan meskipun pada akhirnya banyak anggota yang lebih memilih jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi (mahoni), tetapi bukan karena paksaaan tetapi hanya karena nilai jual kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lain.

Kemandirian inilah yang menjadi esensi pengembangan masyarakat, di mana dengan kemandirian tersebut akan memunculkan partisipasi, kreatifitas, dan inisiatif dari dalam diri masyarakat (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003 : 22), kemandirian akan mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pihak luar.

k. Jangka waktu yang panjang (mulai tahun 1985 – 2005) diperlukan untuk menjadi kelompok dan hutan rakyat yang seperti saat ini, bisa dipahami bahwa proses pembentukan kelompok dan hutan rakyat tersebut memerlukan waktu yang sangat panjang dan bertahap sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan oleh Ife J, (2002 : 221) bahwa pengembangan masyarakat haruslah dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri, Ife juga menyatakan bahwa pengembangan masyarakat yang berhasil adalah bergerak sesuai dengan langkah masyarakat itu sendiri.

Waktu dan tahapan yang relatif panjang inilah yang terkadang menyebabkan program pengembangan masyarakat tidak begitu diminati oleh pemerintah, karena biasanya program pemerintah harus dapat dilihat hasilnya pada tahun berikutnya. Demikian juga, tahapan yang panjang juga membuat CD worker menjadi frustasi dalam menjalankan program dan aksinya (Ife J, 2002 : 222).

l. Adanya pengakuan akan keberagaman, ini ditandai dengan jenis tanaman, pola tanaman, dan kerapatan yang diusahakan oleh para anggota di lahan mereka. Ada banyak ragam tanaman hutan yang diusahakan (antara lain : jati, mahoni, sono) dengan pola tanam yang beragam (monokultur dan tumpangsari), sehingga anggota berhak untuk menentukan pilihan pengusahaan sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

m. upaya pemberdayaan masyarakat (dalam hal ini anggota) dalam berbagai aspek dan kegiatan,

n. Menghargai nilai-nilai lokal yang ada di masyarakat (pengetahuan, budaya, sumberdaya, keahlian, dan proses), teknologi yang diintrodusir dari luar tidak dipaksakan untuk diterima secara mentah oleh masyarakat. Ada upaya penyatuan antara teknologi dari luar dan nilai-nilai lokal yang ada di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai lokal tidak boleh dikesampingkan, karena pengakuan terhadap nilai lokal yang mereka miliki akan membuat masyarakat semakin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap program pembangunan. Hal yang perlu diingat adalah bahwa nilai-nilai lokal selalu mengalami perubahan yang dinamis dan oleh karena itu nilai-nilai lokal tidak mengganggu proses pembangunan, bahkan nilai-nilai lokal sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat di mana nilai-nilai tersebut melekat (Michael R. Dove dalam Suwarsono dan Alvin Y. So, 1991 : 66).

o. Keberlanjutan program kegiatan, hal ini bisa dilihat dari semakin beragamnya kegiatan masyarakat, bukan hanya bertanipada awal kegiatan pemerintah juga turut dalam pembangunan hutan rakyat tersebut, namun dengan adanya keinginan untuk memperbaiki kondisi lingkungan dan mutu hidup, masyarakat setempat akan

p. Terjadinya proses belajar bersama antar warga dalam kelompok tani, dalam proses belajar bersama informasi baru diperoleh melalui interaksi dengan orang lain, sehingga transfer pengetahuan dan ketrampilan baru akan lebih cepat. Inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasilan warga mengatasi masalah lingkungan hidu, menurut Wollenber Eva, David Edmunds dan Louise Buck (2001:6) proses belajar bersama bisa dilaksanakan dengan cara pertukaran pengalaman, saling menukar informasi, dan dialog antar anggota.

.

KESIMPULAN

Beberapa hal yang menjadi catatan akhir sebagi sebuah kesimpulan antara lain :

1. Pembentukan kelompok sebagai sebuah wadah dalam pembangunan menjadi sebuah keharusan dalam pembangunan berbasis rakyat, di mana diharapkan kelompok masyarakat bisa menjadi motor penggerak pembangunan. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah kelompok yang terbentuk merupakan kelompok yang memang dikehendaki oleh masyarakat, selain itu juga dinamisasi kelompok harus benar-benar diperhatikan.

2. Dalam masyarakat paternalistik, peran seorang tokoh masyarakat sangat penting dan strategis. Masyarakat masih menjadikan tokoh sebagai seseorang yang harus dianut dan diikuti, sehingga seorang CD worker harus secara jeli melihat peluang adanya tokoh panutan sebagai mitra dalam pengembangan masyarakat.

3. Memberikan kebebasan masyarakat (serta meminimalisir peran pihak luar) dalam menentukan pilihan untuk menjadi seperti apa dan bagaimana bentuk mereka merupakan sebuah keharusan dalam pembangunan yang memihak kepada rakyat, sehingga rasa kepemilikan terhadap program pembangunan menjadi lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1996. Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutanan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Bappenas, 2005. Draf Ringkasan Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium Indonesia Per 25 Agustus 2005. dalam www.bappenas.go.id.

Dwi Tiyanto, Lilik Kristianto, Atik Catur B, dan Bukit Himawati. 2006. Mengubah dari yang Kecil : Perspektif, Konsepasi, dan Metode Membangunan Komunitas. Lindu Pustaka. Surakarta.

Hettne, Bjorn, 2000. ”Reorientasi Teori Pembangunan” Jurnal Wacana VII/2000. Insist Press. Yogyakarta.

Ife, Jim, 2002. Community Development : Community-based Alternetives in Age of Globalisation Edisi Kedua. Pearson Education Australia.

Korten, David C., 1984. Pembangunan yang Memihak Rakyat. Lembaga Studi Pembangunan. Jakarta.

Mardikanto T, 2007. Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Puspa. Surakarta.

Suwarsono dan Alvin Y. So, 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia : Teori-teori Modernisasi, Depedensi, dan Sistem Dunia. LP3ES. Jakarta.

Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003. Pengembangan Masyarakat : dari Pembangunan sampai Pemberdayaan. Aditya Media. Yogyakarta.

Universitas Gadjah Mada dan Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Wonogiri, 2005. Laporan Akhir Pola Penanganan Erosi dan Sedimentasi dengan Pembangunan Hutan Rakyat.

Wollenberg Eva, David Edmunds, dan Louise Buck, 2001. Mengantisipasi Perubahan : Skenario, Sebagai Sarana Pengelolaan Hutan Secara Adaptif.Center for International Forstry Research (CIFOR). Bogor.

Tidak ada komentar: